Powered By Blogger

Rabu, 02 November 2011

shalawat yang paling afdhol

Membaca shalawat untuk Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam adalah ibadah yang tidak bisa dipandang remeh. Ia adalah sebuah ibadah agung dan balasannya pun besar. Ia juga menjadi salah satu ciri kecintaan kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sekaligus menjadi faktor dominan untuk menggapai syafaat Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam di hari Kiamat kelak.
Perintah kepada umat Islam untuk membaca shalawat untuk Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam datang setelah Allâh Ta'ala memberitahukan bahwa Dia bershalawat bagi Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sebagaimana tertuang dalam firman Allâh Ta'ala berikut ini:
(QS. al-A zâb/33:56)
Sesungguhnya Allâh dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.
Hai orang-orang yang beriman,
bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya
(QS. al-Ahzâb/33:56)
Ayat di atas tidak menegaskan satu bentuk teks shalawat tertentu untuk dibaca bila seorang Muslim hendak membaca shalawat untuk Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Namun demikian, terdapat pelajaran yang sangat berharga dari sebuah riwayat dalam Shahih al-Bukhâri no.2497 yang disampaikan oleh Sahabat yang bernama Ka’b bin Ujrah radhiyallâhu'anhu. Sahabat mulia ini menceritakan bahwa para Sahabat pernah menanyakan kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tentang bagaimana bershalawat kepada beliau. Beliau menjawab: “Katakanlah:
hadist
Inilah kaifiyah bershalawat yang diajarkan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam kepada para Sahabat radhiyallâhu'anhum sebagai jawaban atas pertanyaan mereka mengenai cara bershalawat untuk beliau. Maka pantas bila disebut sebagai lafazh paling afdhal dalam bershalawat.
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâh mengatakan: “Apa yang diajarkan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam kepada para Sahabat radhiyallâhu'anhum tentang kaifiyah ini (dalam membaca shalawat) setelah mereka menanyakannya, menjadi petunjuk bahwa itu adalah teks shalawat yang paling utama karena beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidaklah memilih bagi dirinya kecuali yang paling mulia dan paling sempurna.” (Fathul Bâri 11/66)
Untuk itu, akan lebih baik bila lafazh shalawat ini yang diamalkan dalam membaca shalawat untuk Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, bukan lafazh-lafazh shalawat susunan manusia, meskipun bukan larangan untuk menyusun bentuk teks shalawat sendiri. Shalawat-shalawat buatan manusia terkadang tidak bersih dari kekeliruan, baik dalam pemilihan bahasa, maupun –dan ini yang paling parah- kesalahan dalam akidah. Tentu sangat kontradiktif, saat seseorang membaca suatu teks shalawat yang bukan dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan berharap pahala dari Allâh Ta'ala dan syafaat Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam di akherat, namun ia melakukannya dengan membaca sesuatu yang mengandung kesyirikan ataupun sanjungan yang sangat dibenci oleh beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Bukan pahala dan syafaat yang ia peroleh, sebaliknya kemurkaan yang akan menghampirinya.
Anehnya, sebagian masyarakat lebih condong mengamalkan shalawat-shalawat susunan selain yang disampaikan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan meyakini akan keutamaan dan khasiatnya, memperlakukannya seperti membaca teks dari wahyu dengan menjadikannya sebagai wirid rutin dan mengajak orang untuk mengamalkannya. Sehingga, apa yang disebut bid’ah (membuat perkara baru dalam agama) telah terjadi. Jelas ini sebuah kesalahan di atas kesalahan yang tidak boleh dibiarkan. Harus ada langkah nyata untuk mencerahkan umat dengan menyampaikan kepada mereka hal-hal yang benar-benar bersumber dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan menegaskan bahwa beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak menyukai perkara-perkara baru dalam agama.
Maka, menyebarkan ilmu syar’i yang berlandaskan al-Qur`ân dan Sunnah dengan pemahaman yang benar, yaitu pemahaman Salafus Shaleh tidak boleh ditunda-tunda lagi. Wallâhul Muwaffiq

Selasa, 01 November 2011

jangan dihiraukan




Siksa orang orang yang meremehkan shalat

Fathimah ra, bertanya kepada Rasulullah saw., “wahai Ayahku! Apa siksa bagi orang yang meremehkan sholat, baik laki-laki maupun perempuan?” Kemudian Rasulullah menjawab:”Wahai Fathimah, barang siapa yang meremehkan shalat, lelaki maupun perempuan, maka Allah akan memberinya 15 petaka . Enam diantaranya di dunia, tiga di saat kematiannya, tiga di dalam kuburnya, dan tiga pada hari kiamat di saat angun dari kuburnya.”

Enam petaka yang diberikan kepada orang orang yang meremehkan sholat tersebut di antaranya adalah; Allah akan mencabut berkah umurnya, Allah akan mencabut berkah rezekinya, Allah akan menghapus ciri orang shaleh dari mukanya, semua amal yang dilakukannya tidak diberi pahala, doanya tidak terangkat ke langit, dan tidak mendapat bagian di dalam do’a orang orang shaleh.

Tiga petaka lainnya yang akan ditimpakan oleh Allah kepada orang yang meremehkan sholat di antaranya adalah; atinya dalam keadaan terhina, lapar dan kehausan, rasa hausnya tersebut tidak akan hilang andaikan ia diberi minum satu sungai secara penuh.

Tiga perkara lainnya yang menimpa orang-orang yang meremehkan shalat di dalam kubur yaitu; Allah akan menyerahkan kepada malaikat yang menakutkan (mengerikan), kubur akan menjepitnya, kuburnya gelap gulita. Sedangkan tiga lagi siksaan yang akan ditimpakan kepada orang yang meremehkan shalat adalah; Allah akan menyerahkan kepada malaikat dengan siksa malaikat tersebut akan menyeretnya dengan posisi terbalik, di hisab oleh Allah secara detail, Allah tidak akan menoleh padanya dan tidak mensucikannya dan baginya adzab yang pedih. (tafsir al muin: 576)
Oleh: M. Wiyono. S.Th.I

Antara yang Takdir dan Usaha


hampir dalam semua agama selalu ada perbedaan dalam memaknai takdir, mungkin di dalam agama islam juga demikian, sehingga seorang hamba Allah dengan mudah,:”ini kan sudah takdir Allah”, jawaban yang diberikan jika tertimpa musibah, bencana ataubahagian dan keuntungan. Meski kepastian takdir kita tidak tahu, lebih rancu lagi jika seoran muslim tidak mengetahui mana qodho’ dan mana takdir. Sebagian ulama’ juga ada yang membagi takdir mubram dan qadho’ muallaq, namun yang terpenting adalah mempercayai adanya qadha’ dan takdir, sedangkan antara yang ditakdirkan dan yang diusahakan bisa simak lanjutan tulisan ini.

Ada hadits yang mengatakan bahwa, janin usia 120 hari (4 bulan) saat ditiupkan ruh telah dicatat oleh Allah 4 hal yaitu umur, rizki, amal (pekerjaannya), bahagia dan celakanya. Dari sini banyak orang memahami semua yang kita sandang bersifat permanent dan sudah terberikan (given) sehingga malas berusaha dan terjerumus kepada pemahaman jabariyah dan fatalistik, lalu harus bagaimana cara memahaminya???

Untuk tiga hal memang tidak bisa ditolak karena yang tiga yaitu umur, rizki, amal tidak bisa kita merubahnya, tetapi ketentuan Allah yang bahagia dan celaka, masih bisa di anulir sesuai dengan kapasitas kemampuan yang kita lakukan untuk merubahnya. Disamping itu, takdir adalah kuasa tuhan, semua tertulis didalam genggamannya, makanya jangan ditebak tebak, apalagi berdalih seperti orang yang sudah tahu jelas dengan rencana takdir tuhan, setelah bermaksiat dengan enteng mengatakan, ini semua adalah takdir tuhan sedangkan kita sendiri menebak apa yang direncanakan seekor ayam saja tidak bisa, terlebih lagi menebak apa yang di kehendak oleh Allah.

Sebaiknya manusia tidak banyak memperdebatkan apa yang ditakdirkan oleh Allah tetapi kita aharus berusaha sebisa mungkin untuk berbaik sangka kepada Allah, dan melakukan semua usaha dengan gigih sesuai rel kebenaran yang dituangkan di dalam Al Qur’an dan Hadits Nabi saw. Termasuk masalah umur, karena kematian hanya sebuah sebab dari kematian tersebut.



Awan yang membentuk lafal Allah
allah-clouds.jpg
Ini yang menegur manusia yang muncul di jazirah arab baru

Lafal Allah dari luar angkasa
allah.jpg
Gambar yag tanpa sengaja didapat sang astronot NASA

Enter content here

Lafal Lailahaillallah yang terdapat dihutan Jerman
lailahailallah2.jpg